Pengalaman pertama kali mendaki gunung
Hari kamis, mendekati beberapa hari sebelum liburanku selesai. Sebelumnya teman teman sekelasku berencana ingin berwisata ke pantai di sebuah kawasan di daerah barat. Tetapi karena ada peristiwa tsunami rencana tersebut menguap begitu saja ke atas awan.
Lalu aku pun berinisiatif untuk merencanakan alternatif pilihan berwisata, aku menyarankan sebuah tempat yang asri dikelilingi oleh banyak pohon yang berbaris dan ditengahi dengan air yang di dalamnya terdapat banyak sekali ikan sapu-sapu, dan saat musim hujan kata orang-orang terdapat banyak biawak. Aku pun menyarankan rencana brilian ini kepada temanku Wahyu, sosok yang sangat populer di kalangan keluarganya.
Wahyu pun mengiyakan tawaranku. Cerdas sekali memang ide ku ini, semua orang mungkin tidak akan menolaknya pikirku
“Nah ayo sur, semuanya pasti ikut karena murah dan dekat, kamu memang cerdas kalau urusan jalan jalan”
“Hahaha siapa dulu dongggg”
Wahyu pun mengajak teman teman yang lain untuk berwisata esok harinya. Ke esokan harinya, aku sudah menyiapkan fisik dan mental yang prima untuk kesana. Hingga tiba tiba muncul notif Line yang masuk “Kita jadinya jalan jalan ke sebuah bukit di daerah antah berantah”
Kami pun janjian untuk bertemu di rumah Vicky sekaligus menjemput Vicky karena rencananya ia akan kuboncengi.
“Aku otw sur”
“Oke meluncur” Kataku
Aku sudah tiba di rumah Vicky. dan kupanggil juga tidak ada. Aku pun memutuskan memakan bekalku sembari menunggu Wahyu yang katanya otw tetapi sudah 15 menit belum sampai juga. Mungkin maksudnya 15 menit waktu di akhirat atau setara dengan 4 tahun di dunia. Hingga akhirnya aku pun memutuskan ke Alfamart untuk membeli minum. Sekembalinya ke rumah Vicky aku berpapasan dengan Wahyu dijalan. aku pun memberi tahunya
“Vicky ga ada dirumah gimana nih?”
“Tunggu dulu aja sur”
“Okee”
Kami pun menunggu Vicky dibawah pohon rindang didepan rumahnya. Lama sekali menunggu vicky hingga tidak sadar uban pun perlahan tumbuh di rambutku.
“Bagaimana ini?”
“Sabar sur kita tunggu dulu”
Hingga pada akhirnya muncul notifikasi line dari temanku Alfi
“Ke munara jam berapa, kalau jam 2 aku ikut”
“Iya kita berangkat jam 2” Kataku
Langsung ku iyakan saja agar ramai, dan setelahnya pun Tomi juga memutuskan untuk ikut. Kami berempat berkumpul di tempat yang sangat rahasia, yang dijaga ketat oleh aparat setempat, yaitu Warvik. Kami berempat memutuskan untuk merampingkan motor, Tomi diboncengi Alfi dan Aku diboncengi Wahyu padahal itu hanya akal akalan ku saja agar bensinku tidak habis hahahha. Kami pun berencana memarkirkan motor di rumah Wahyu, karena rumahnya terlalu jauh akhirnya kami memutuskan memarkirkan motor di rumah Alfi.
Kami pun langsung berangkat tanpa banyak alasan. Alfi memimpin perjalanan berbahaya ini. Alfi ini cukup cerdik ku rasa, ia melewati jalan kecil yang mungkin mobil jika berpapasan saja kaca spionnya akan pecah karena tidak muat jalannya. Karena kecerdikan Alfi. 10 menit diatas motor kita sudah sampai di Bandung, cukup tidak masuk akal memang, tapi itulah nyatanya. Suasana sejuk dan rumah rumah yang khas, sudah pasti ini di Bandung. Aku pun bertanya kepada Wahyu
“Yu, kok kita cepat sekali sudah sampai Bandung?”
“Bandung dari mana sur? ini masih Pondok Petir”
Allahuakbar ternyata ini pondok petir, kukira Bandung hahahha. Kami pun masih berada dijalan raya, memang jauh perjalanan ini jika dibandingkan berpergian dari rumahku ke Alfamart. Untuk membunuh bosan Aku pun bersenandung diatas motor Aku menyanyikan se album fotoku saat kecil hahhaha tidak tidak, aku menyanyikan se album lagu sheila on 7.
Aku ini adalah fans berat sheila on 7. Aku pernah menonton konser sheila on 7 waktu kecil bersama kakaku. Aku sangat antusias sekali tetapi tidak dengan kakaku. Kami menonton sheila on 7 hingga magrib, kakakku entah kenapa ia sangat sedih, terlihat raut wajah yang tidak enak dari mukanya, beres nonton ternyata sendalnya ilang. Pernah juga aku ingin menonton sheila on 7 diajak temenku tetapi yang dateng kok malah tukang bengkel sama anak anak racing, ternyata yang ku tonton bukan sheila on 7 tetapi sheila on derdil JIAHHHH hahhaha
Wahyu mengendarai motor sangat lambat sekali. 1 jam lebih mungkin aku duduk di atas sepeda motor. Rasanya pantatku mati rasa, ingin rasanya ku ganti pantatku dengan pantat besi, namun setelah kupikir kembali itu memerlukan dana yang banyak, lebih baik ku gunakan untuk kuliah. Sejak menaiki kelas 12 keinginanku untuk berkuliah semakin memuncak, aku ingin sekali membanggakan kedua orang tuaku. Orang tua ku pernah berkata, berkuliah jaman sekarang sangatlah sulit. Aku pun membaca beberapa artikel di internet maupun di koran juga mengatakan demikian. Untuk kalian yang masih bisa meraih bangku kuliah jangan pernah sia-siakan kesempatan kalian, belajarlah yang rajin jangan kecewakan kedua orang tua, karena 30% anak Indonesia tidak bisa merasakan bangku kuliah karena masih SMP hahahha
Suara motor pun sudah terdengar ngos-ngosan, pertanda kami sedang melewati jalanan berbukit, tandanya kami sudah dekat dengan tempat tujuan. Ketika sedang melihat hamparan sawah nan luas di kiri kanan jalan, aku melihat dua remaja tanggung yang mengobrol menutupi jalan, aku sangat kesal dengan orang orang seperti ini, rasanya ingin sekali kuteriaku
“WOI, KALAU NGOBROL NGAJAK NGAJAK DONG!”
Setelah melewati ringdangnya pohon dan hamparan sawah yang sangat memanjakan mata, kami akhirnya tiba di Curug. kami pun disamput bapak tua bertongkat, Aku kira awalnya ia Paman Ben, setelah ku lihat lebih dekat ternyata ia penduduk sekitar. Setelah memarkirkan motor, Aku memutuskan melepas sepatuku, dan di ikuti dengan Wahyu. Namun berbeda dengan Alfi dan Tomi, mereka memilih memakai sendal. Sendal panjang yang biasa dipakai lomba 17 an a.k.a bakiak. Ya betul, mereka berjalan sambil tangan dipundak sembari melantangkan “kiri kiri kanan kanan”
Kami pun berjalan kaki menapaki jalan jalan setapak menuju ke bawah, lumayan curam untuk turun kebawah ku rasa. Aku mengalami kesulitan awalnya karena belum terbiasa, namun karena aku Jinchuriki, dengan mudah aku beradaptasi. Dengan lincah ku lewati jalan menurun kebawah yang sangat curam, nyaris tidak ada tapakan untuk kaki melangkah, saat sudah bersemangat bersemangatnya, temanku Alfi memutuskan untuk beristirahat. Aku sempat beradu argumen dengannya untuk segera melanjutkan perjalanan.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dan kami singgah sebentar di sebuah batu besar. Kami duduk sembari meluruskan kaki kami yang sudah ingin copot rasanya. Teman temanku berswafoto diatas batu. Aku awalnya tidak ikut, karena menurutku berwisata bukan tentang berapa banyak foto yang kita dapat, tetapi berapa banyak pengalaman yang kita dapat. Karena aku tergoda, akhirnya aku ikut berfoto bersama yang lainnya hahaha. Aku suka heran jika melihat gaya orang yang ketika sedang berfoto kepalanya miring, memangnya sedang tahiyat akhir.
Kami pun melanjutkan perjalanan kembali, namun tujuan sementara kita saat ini untuk mencari tempat untuk sholat. Ya walaupun kita sedang berpergian jauh, namun tetap sholat itu wajib. Kami akhirnya memutuskan untuk sholat di atas batu
Kami pun sholat di atas batu yang berada di pinggir curug tersebut, buat teman teman mungkin yang belum pernah mengunjungi curug ini, mungkin membayangkan batunya kecil kaya batu ginjal, salah besar teman teman sekalian, batunya besar banget lebih besar dari batu baterai, kami pun mengambil wudhunya harus berjalan dulu menaiki lembah yang curam dan melewati jurang yang berbahaya, jujur adrenalinku sudah naik hingga ke ubun ubun, jika bukan karena ingin bersembahyang kepada Allah aku tidak ingin mengambil resiko dan duduk manis saja di atas pohon yang sudah tumbang.
Sholat itu kewajiban, selama kita masih hidup mau medan securam apapun harus kita taklukan. Aku pun berjalan perlahan mencari jejak jejak setapak untuk sampai ke tempat mata air untuk berwudhu. Alfi dan Wahyu berjalan dibelakangku. Sampailah kami dimata air yang air nya sangat dingin. Aku dan Wahyu memutuskan berwudhu di sini, tetapi berbeda dengan Alfi. Ia memutuskan untuk mengambil wudhu di tempat yang lebih menanjak lagi agar airnya lebih fresh lagi katanya, cukup berisiko fikirku, tapi biarlah aku disini saja
Aku pun berwudhu sehabis Wahyu. Aku pun kembali menyusuri jalan setapak untuk kembali ke tempat batu besar tempat kami akan sholat. Entah apa yang ada dipikirannya Wahyu, ia kembali ke batu tersebut melewati jalan yang berbeda, Ia melewati jurang yang dalam yang penuh bebatuan. Memang lebih cepat sampainya, lebih cepat sampai ke kematian. Aku terus berjalan perlahan dengan penuh hati hati. Terlihat dari kejauhan Wahyu berusaha menuruni bebatuan. Aku terus berjalan memutar, menaiki batang pohon yang rubuh, adalah cara terbaik menurutku. Tiba tiba terdengar suara
“Tolonggggg… Tolonggg”
Rupanya suara Wahyu. Aku pun segera lari ketempat batu tadi. dan segera mengambil handphone untuk mengabadikannya.
“Tom.. Tom.. bantuin tom”
kataku sembari terus memvideokannya, satu menit Tomi menolong Wahyu yang hampir terjatuh, dan dapat ditolong oleh Tomi.
“Untung ada kamu Tom”
“Kamu memang pahlawan Tom, cocok jadi tim SAR”
“Bisa saja kamu sur’
Lalu kami melaksanakan sholat berjamaah di atas batu tersebut, batu tersebut di alasi dengan daun pisang, kontur batu tersebut memanglah tidak rata, tetapi itulah yang membuatnya sangat keren. Ini pengalaman pertamaku sholat diatas batu besar, setelah selesai sholat. Kini tujuannya adalah Curug. Kami semakin mendekati Curug, karena aku mendengar suara gemericik air. Sudah tinggal sedikit lagi kataku. Kami menuruni ribuan anak tangga yang tidak beraturan, aku hampir saja terpeleset, untung keseimbangan tubuhku sangat baik, tidak seperti keseimbangan ekonomi negara yang banyak utangnya.
Setelah menuruni anak tangga terakhir tibalah kami di dasar Curug. Perlu jalan beberapa meter lagi untuk dapat kebawah air terjun. Semua lelah saat menuruni tebing terbayar lunas dengan indahnya Curug ini. Kami memetuskan hanya singgah sebentar saja karena waktu sudah menunjukan pukul setengah lima sore. Sudah terlalu sore untuk bermain air
Kami hanya berfoto ria dibawah air terjun lalu bergegas kembali karena ada beberapa remaja yang datang juga, tidak enak keadaannya untuk berlama lama disana.
Kami pun kembali. Pegal dikaki ku menjadi dobel, setelah menaiki tangga yang berjumlah ratusan. Kami pun segera kembali ke parkiran dan memutuskan untuk kembali.